Dia selalu duduk di
meja paling timur cafe ini, sedangkan aku di meja paling barat yang jaraknya
hanya ya paling 3 sampai 2 meter saja, tidak usah memperhatikan dengan saksama
semua orangpun sudah tahu ia akan memesan apa, ia selalu memesan kopi hitam
tanpa gula, sesekali ia menambahkan pesanannya dengan roti bakar, pisang bakar,
kentang goreng atau kalau terlihat lapar ia akan memesan nasi goreng sosis
super duper pedas. Selama hampir 2-3 bulan setelah kepindahanku di kota ini,
menurutku cafe ini yang paling startegis untuk mengerjakan deadline yang
menumpuk dari kantor, itu tidak hanya pilihanku saja, lelaki meja paling timur
pun sepertinya sama, dan beberapa orang yang tersebar dalam meja cafe ini, ya
sesekali ada segerombolan anak sekolah yang memecah keheningan ruangan, namun
cafe ini bukan pilihan utama karena tidak ada live musik yang menjadi
fasilitasnya. Mungkin pemilik cafe ini memang sengaja, cafenya untuk
orang-orang yang suntuk di kantor namun tidak bisa menyelesaikan deadline di
rumah, tidak banyak juga mahasiswa membawa tugasnya kemari, bisa saja mereka
mengerjakan skripsi, juga merapatkan organisasi, yang pasti cafe selalu nyaman
untuk mereka yang butuh ketenangan.
Satu bulan waktu
yang sangat panjang untuk memperhatikan orang yang selalu memesan minuman dan
makanan yang sama juga gaya yang sama, duduk menghadap tembok yang tergantung
lukisan wanita jepang menggunakan kimono namun belahan pahanya sampai keatas,
menggunakan headset dari handphone, mata fokus kelayar mointor laptopnya,
sesekali ia kehabisan ide lalu melirik lukisan wanita jepang dengan seketika ia
seperti mendapatkan ide yang sangat cemerlang. Aku mengumam, yang menarik ia
terus duduk di pojok timur cafe ini bukan tempatnya yang nyaman namun lukisan
wanita jepang tersebut. Sedangkan aku, duduk di sudut barat cafe dan duduk
mengadap ke jalan agar bisa melihat lalu lalang orang-orang, ya aku memang suka
sekali memperhatikan orang, terkadang saking asiknya memperhatikan orang
deadlineku terbengkalain. Ia selalu memesan kopi, tidak denganku, paling yang
aku pesan coklat panas atau teh, milkshake itupun yang tidak ada unsur kopi. Aku
memang tidak bisa memakan kopi, bukan tidak suka, perutku tidak menerima unsur
cafein dalam kopi. Satu bulan aku sudah bisa menebak dan menyimpulkan lelaki
itu, ia seorang pecinta kopi, perokok, keras kepala, jutek dan sosialnya
mungkin tidak terlalu baik, tidak pernah sekalipun ia membawa teman kantor atau
teman wanitanya, berbeda denganku dengan hanya 2-3 bulan aku sudah memiliki
banyak teman, sering aku membawa serta mereka untuk mengobrol dan mengerjakan
deadline bersama. Akupun yakin lelaki itu tidak hanya datang di cafe ini 3 kali
seminggu seperti diriku, mungkin setiap hari. Aku sendiripun bisa menarik
kesimpulan bahwa sifat, kebiasaan, dan kegemaran aku dan lelaki itu bertolak
belakang.
Kamis sore yang
hujan sekitar pukul empat sore, tidak seperti biasanya cafe ini ramai sekali,
mungkin orang orang berkunjung disini hanya menunggu hujan yang datang sangat
tiba-tiba, namun aku sangat beruntung meja sudut barat belum ada yang mengisi,
aku segera kesana langsung di sambut waiterss untuk memesan makanan, aku
melirik meja sudut timur sudah terisi 4 orang lelaki, tidak ada lelaki yang
biasa memesan kopi hitam tanpa gula, rupanya ia tidak datang kalaupun datang ia
mungkin akan kembali karena meja kesanyangannya sudah ditempati orang. Dugaanku
benar selang 15 menit dari kedatanganku lelaki kopi hitam tanpa gula itu
datang, kulihat matanya langsung menuju meja kesayangaanya dan terbesit
kekecewaan. Ada sebuah meja kosong di sudut pintu namun ia malah menuju
kursiku, aku pura pura mengalihkan perhatian dan langsung pura pura serius
dengan monitor laptop. “permisi, bisa saya bergabung di meja ini, saya tidak
bisa mengerjakan deadline tanpa melihat lukisan itu”, ia menujuk lukisan wanita
jepang. Belum menjawab ia sudah duduk berhadapan denganku, aku hanya
mengernyitkan dahi, ia menganggap itu jawaban iya, ia berkata lagi “ada kursi
yang kosong di dekat pintu, tapi ya itu saya tidak bisa jauh jauh dari lukisan
wanita jepang, dan deadline saya menumpuk banyak harus diselesaikan malam ini,
semoga mbak tidak keberatan?” ia baru saja meminta jawaban dariku, “Silahkan
mas”, jawabku, menolakpun rasanya tak enak, ia sudah duduk dan mengeluarkan
laptopnya. “mengerjakan deadline juga mbak?” tanyanya kembali. “iya”, jawabku
singkat dengan senyum yang terpaksa. “oh ya, maaf dengan mbak siapa? Saya Tama”,
ia mengajak kenalan sambil menjulurkan tangannya. “Alina” jawabku dan menjabat
tangannya. Waiterss sekejap saja sudah ada di mejaku menanyakan akan memesan
apa, sesuai dugaanku ia langsung memesan “ seperti biasa mbak, kopi hitam tanpa
gula dan kentang goreng, mungkin mbak Alina mau menambah pesanannya? Tanyanya kepadaku,
“oh, tidak terimakasih” jawabku dengan cepat. “kursiku sudah ditempati jadi ya
saya merepotkan mbak Alina ini mbak”, ceritanya kepada waiterss, belum sempat
waiters itu menjawab ia langsung berkata lagi “ sejak kapan ke empat pria itu
ada di mejaku mbak?” “dari sebelum hujan pak” waiters menjawab. “oh, ya
sudahlah, kalau tidak ada mereka saya tidak bisa melihat lukisan itu dari sudut
sini dan tidak bisa berkenalan dengan mbak Alina” ia melirik padaku, aku hanya
diam tidak menimpali, waiters itu memohon pergi. “saya sering mendengarkan mbak
Alina memesan minuman, namun tak sekalipun mbak memesan kopi” ia terus
bercerita “aku tak suka kopi” timpalku, “tak mengapa, tapi nanti nanti kularang
mbak Alina tidak suka aku” balasnya dengan suara lirih, “maaf, bagaimana?” aku
tidak mendengar jawabannya, ia hanya membalas dengan senyuman, aku tidak
menghiraukan.
Waiters membawakan
pesanannya, lalu pergi. Ia banyak bercerita kalau kopi di cafe ini ternikmat
dari yang ada, ia pula menyangakan mengapa aku tidak menyukai kopi, namun ia
pula yang menjawab sendiri kalau selera tidak bisa dipaksakan. Aku hanya
mengangguk dan menimpali sesingkat singkatnya. 30 menit iya bercerita, aku jadi
tahu ia sungguh pandai bercerita, iya suka menonton film, hampir semua film
boxoffice sudah ia tonton, menceritakan pula lagu lagu kesukaannya. Aku juga
tahu ia pulang dari cafe ini hampir jam 2 pagi, atau bahkan subuh kalau ada
siaran bola klub kesayangannya. Tidak aku yang menanyakan tapi dia yang
menceritakan sendiri, dari cara bicaranya ia sedikit congkak dengan pengetahuan
yang ada, karena aku tidak tahu banyak yang ia ceritakan ya aku hanya menjawab
sesingkatnya dan menimpali setahuku saja, tidak memaksa untuk menanggapinya. Di
alojiku sudah pukul 23.00 malam. Ia menanyakan dan menawarkan mengantarkanku
sampai rumah, dengan sedikt memaksa, akupun tidak mempunyai pilihan jawaban
tidak. Aku diatarkannya sampai depan rumah dan bebasa basi untuk mengajak ia
kapan kapan mampir rumah, iya menyanggupi.
Di Kamarku, entah
kenapa kejadian hari ini membuatku sangat senang, lelaki kopi hitam tanpa gula
yang bernama Tama, itu berbeda dengan sekali yang dulu pernah ia kenal, mungkin
nama saja yang sama, kelakuan, kegemaran dan sifatnya sungguh berbeda. Aku tidur
dengan cepat dan tersenyum.
***
Setelah
pertemuan yang kurang mengasikkan itu, ada beberapa kejadian yang menyenangkan
juga menyebalkan. lelaki kopi hitam tanpa gula selalu menyapa dan kadang
mengantarkan aku pulang, kalau tidak ada deadline ia berkunjung ke rumah. Kami tidak
terlalu dekat namun, aku tahu selama lamanya ia menghilang lelaki kopi hitam
tanpa gula itu selalu kembali datang, dan aku selalu membukakan pintu dengan
senyum untuknnya.
Rabu
malam, aku memang tidak mampir ke cafe, karena tidak ada deadline yang harus
diselesaikan. Ia tiba tiba datang ke rumah, dengan berbagai alasan. Iya, aku
menerima dengan senyum. Ia memintaku membuatkan kopi pahit, aku tidak punya
persediaan kopi di dapur sanggahku. Ia kembali ke motornya dengan membawa
bungkusan plastik putih besar, setelah kulihat ia membawa kopi hitam banyak
sekali, untuk persediaan katanya, “kamu memang tidak suka kopi, Tapi aku suka,
sesekali buatkan kopi untukku” ia berkata sambil tersenyum. “sekarang juga
boleh” rajuknya. Aku menjawab dengan senyuman saja dan masuk ke dapur untuk
pertama kalinya membuatkan kopi hitam tanpa gula. Di dapur aku bergumam sendiri,
“tidak hanya sesekali aku akan membuatkan kopi, kalau kau yang minta tiap hari
aku buatkan untukmu, lelakiku si kopi hitam tanpa gula”.
Yogyakarta, 11 Juni
2014
_Ushliha_
Komentar
Posting Komentar